Monday, 17 December 2012

MAKALAH USHUL FIQH ZHÂHIR, NASH, MUFASSAR, MUHKAM

MAKALAH 
USHUL FIQH ZHÂHIR, NASH, MUFASSAR, MUHKAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Secara garis besar, dalam ilmu Ushul Fikih lafaz dari segi kejelasan artinya terbagi kepada dua macam, yaitu lafaz yang terang artinya dan lafaz yang tidak terang artinya. Dimaksud dengan lafaz yang terang artinya ini adalah yang jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud tanpa memerlukan penjelasan dari luar. Jenis ini terbagi dalam 4 tingkatan, yaitu zhâhir, nash, mufassar, dan muhkam. Sedangkan yang dimaksud lafaz yang tidak terang artinya adalah yang belum jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu. Jenis ini pun terbagi dalam 4 tingkatan, yaitu khafi, musykil, mujmal, dan mutasyâbih
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan tingkatan-tingkatan yang terkait dengan lafaz yang terang artinya dan lafaz yang tidak terang artinya, yakni mengenai zhâhir, nash, mufassar, muhkam
B.     RUMUSAN MASALAH
 Pada uraian makalah ini, pembahasannya akan penulis batasi dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian Ushul Fiqh ?
2. Apa definisi Zhâhir ?
3. Apa definisi Nash ?
4. Apa definisi Mufassar ?
5. Apa definisi Muhkam ?
C.    TUJUAN
-          Agar kita bisa mengetahui Pengertian Ushul Fiqh.
-          Agar kita Mengetahui apa itu Zhahir, Nash, Mufassar, dan Muhkam
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ushul Fiqh
Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqih dapat dilihat dari dua aspek: Ushul Fiqih kata majemuk (murakkab), dan Ushul Fiqih sebagai istilah ilmiah. Dari aspek pertama, Ushul Fiqih berasal dari dua kata, yaitu kata ushul bentuk jamak dari ashl dan kata fiqih, yang masing-masing memiliki pengertian yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah, ashl mempunyai beberapa arti berikut ini antara lain :
a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqih bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul.
b. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya.
Adapun fiqih, secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian tersebut dapat ditemukan dalam al-Quran, yakni dalam surat Thaha (20): 27-28, An-Nisa (4): 78, Hud (11): 91. Dan terdapat pula dalam hadits, seperti sabda Rasulullah SAW :
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ..
Artinya :
“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang. Dia akan memberikan pemahaman agama (yang mendalam) kepadanya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad Ibnu Hanbal, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Adapun pengertian fiqih secara terminologi, pada mulanya diartikan sebagai pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah (ushuliah) maupun amaliah (furu’ah). Ini berarti fiqih sama dengan pengertian syari’ah Islamiyah. Pada perkembangan selanjutnya, fiqih merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci.
Setelah dijelaskan pengertian ushul dan fiqh, baik menurut bahasa maupun istilah maka di sini dikemukakan pengertian Ushul Fiqih yang menjadi pokok bahasan pada bab ini. Para ahli hukum Islam, dalam memberikan definisi Ushul Fiqih, beraneka ragam, ada yang menekankan pada fungsi Ushul Fiqih itu sendiri, dan ada pula yang menekankan pada hakikatnya. Namun, pada prinsipnya sama, yaitu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum syara’ secara global dengan semua seluk beluknya.
Menurut Al-Baidhawi dari kalangan ulama Syafi’iyah (juz I: 16) bahwa yang dimaksud dengan Ushul Fiqh itu adalah :
مَعْرِفَةُ دَلاَئِلِ الْفِقْهِ اِجْمَالاً وَكَيْفِيَّةُ الْإِسْتِفَادَةِ مِنْهَا وَحَالُ الْمُسْتَفِيْدِ.
Artinya :
“Ilmu pengetahuan tentang dalil fiqih secara global, metode penggunaan dalil tersebut, dan keadaan (persyaratan) orang yang menggunakannya.”
Selain itu, Ibnu Al-Subki (juz I: 25) mendefinisikan Ushul Fiqih sebagai :
لاَئِلُ الْفِقْهِ اِجْمَالاً.
Artinya :
“Himpunan dalil fiqih secara global.”
Jumhur ulama Ushul Fiqih mendefinisikannya sebagai berikut :
لْقَوَاعِدُ الَّتِىْ يَتَوَصَّلُ بِهَا اسْتِنْبَاطِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ مِنَ الْأَدِلَّةِ.
Artinya :
“Himpunan kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil-dalilnya.”
Pendapat ini dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Al-Khudhary Beik, seorang guru besar Universitas Al-Azhar Kairo. Adapun Kamaluddin Ibnu Humam dari kalangan ulama Hanafiyah mendefinisikan Ushul Fiqih sebagai:
دْرَاكُ الْقَوَاعِدِ الَّتِىْ يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى اسْتِنْبَاطِ الْفِقْهِ.
Artinya :
“Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian fiqih.”
Sementara itu, Abdul Wahab Khalaf, seorang guru besar hukum di Universitas Kairo Mesir menyatakan :
لْعِلْمُ بِالْقَوَاعِدِ وَالْبُحُوْثِ الَّتِىْ يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى اسْتِفَادَةِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ. أَوْ مَجْمُوْعَةُ الْقَوَاعِدِ وَالْبُحُوْثِ الَّتِىْ يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى اسْتِفَادَةِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ.
Artinya :
“Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah dan metode penelitian hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci.”
Dari pengertian Ushul Fiqih di atas, terdapat penekanan yang berbeda. Menurut ulama Syafi’iyah, objek kajian para ulama ushul adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global); bagaimana cara mengistinbath hukum; syarat orang yang menggali hukum atau syarat-syarat seorang mujtahid. Hal itu berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh jumhur ulama. Mereka menekankan pada operasional atau fungsi Ushul Fiqih itu sendiri, yaitu bagaimana menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih dalam menggali hukum syara’.
Dengan demikian Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan yang objeknya adalah dalil hukum atau sumber hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode penggaliannya. Metode tersebut harus ditempuh oleh ahli hukum Islam dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Seluk beluk tersebut antara lain menertibkan dalil-dalil dan menilai kekuatan dalil-dalil tersebut.(1)
  1. Zhâhir
Terdapat beberapa rumusan yang berbeda di kalangan ulama ushul mengenai definisi zhâhir, di antaranya:
a.       Menurut Al-Sarkhisi, zhâhir adalah
مَا يُفْهَمُ الْمُرَادُ مِنْهُ بِنَفْسِ السَّمَاعِ مِنْ غَيْرِ تَأَمُّلٍ
Dari apa-apa yang didengar meskipun tanpa pemahaman yang mendalam dapat diketahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh pembicara dengan lafaz itu.(2)
b.      Zhâhir, yaitu apa yang menunjukan maksud daripadanya itu dengan sighat itu sendiri, tanpa menghentikan faham maksudnya itu terhadap urusan luar. Dan apa yang dimaksudnya itu ialah hal-hal yang menjadi pokok pembicaraan. Dia mengandung takwil. Bila ada maksud memahami kata-kata tanpa memerlukan qarinah. Tidak ada maksud asli dari pembicaraan. Kata-katanya itu di’itibarkan dengan jelas.(3)
Berikut adalah beberapa contoh dari lafaz zhâhir:
a.                   QS. Al-Baqarah (2) ayat 275:
الرِّبَا وَحَرَّمَ الْبَيْعَ اللَّهُ وَأَحَلَّ
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Ayat ini jelas sekali mengandung pengertian bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram, karena makna inilah yang mudah dan cepat ditangkap oleh akal seseorang tanpa memerlukan qarînah yang menjelaskannya.(4) Meskipun demikian, ungkapan ayat tersebut bukanlah sekedar untuk menyatakan hal tersebut. Akan tetapi, untuk menafikan apa yang dibayangkan orang tentang jual beli dan riba, dan menolak apa yang dikatakan orang bahwa jual beli itu adalah seperti riba, bukan untuk menyatakan hukum kedua hal ini.(5)
b.      QS. Al-Hasyr (59) ayat 7:
 فَانْتَهُوا عَنْهُ نَهَاكُمْ وَمَا فَخُذُوهُ الرَّسُولُ آتَاكُمُ وَمَا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
Ayat tersebut begitu jelas artinya, yaitu keharusan menaati apa yang disuruh Rasul baik mengenai apa yang disuruhnya dan apa yang dilarangnya, karena inilah yang mudah dipahami secara cepat (mudah).(6) Namun, bukan ini maksud pokok pembicaraan. Yang menjadi pokok ialah harta rampasan yang diberikan oleh Rasul, ketika dia membagi-bagikannya, maka ambillah. Dan apa-apa yang dilarangnya maka hentikanlah.(7)
Ketentuan yang menyangkut lafaz zhâhir adalah bila berhubungan dengan hukum, maka wajib mengamalkan hukum menurut lahirnya selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan lain dari lafaz itu.(8) Dia juga mengandung takwil, artinya penyimpangan dari zahirnya dan ada maksud lain dari artinya itu.(9)
 
  1. Nash
Seperti halnya zhâhir, terhadap nash pun para ulama ushul berbeda dalam merumuskan definisinya, di antaranya:
a.       Menurut Ulama Hanafiyah, nash adalah:
هُوَ مَا دَلَّ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ عَلَى الْمَعْنَى الْمَقْصُوْدِ أَصَالَةً عَلَى مَا سِيْقَ لَهُ وَ يَحْتَمِلُ التَّأْوِيْلِ
Lafaz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan, dan ada kemungkinan ditakwilkan.(10)
b.      Nash, yaitu apa yang ditunjukkan oleh sighatnya itu sendiri terhadap arti yang dimaksud dari pokok pembicaraan. Dan mengandung takwil. Apabila maksud itu cepat difahami dari lafadznya dan tidak terhalang memahaminya terhadap urusan luar, adalah maksud pokok pembicaraan.(11)
Berikut adalah beberapa contoh dari lafaz nash:
a.       QS. Al-Baqarah (2) ayat 275:
الرِّبَا وَحَرَّمَ الْبَيْعَ اللَّهُ وَأَحَلَّ
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Secara nash, ayat tersebut bertujuan untuk menyatakan perbedaan nyata antara jual beli dengan riba sebagai sanggahan terhadap pendapat orang yang menganggapnya sama. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan keseluruhan ayat tersebut.(12) Meskipun maksud ayat ini sudah sangat jelas, namun dari ayat ini dapat pula dipahami maksud lain, yaitu halalnya hukum jual beli dan haramnya hukum riba. Pemahaman ini disebut pemahaman secara zhâhir.
b.                  QS. Al-Hasyr (59) ayat 7:
فَانْتَهُوا عَنْهُ نَهَاكُمْ وَمَا فَخُذُوهُ الرَّسُولُ آتَاكُمُ وَمَا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
Ayat ini secara nash bertujuan untuk menyatakan keharusan mengikuti Rasul tentang pembagian harta rampasan, baik yang dibolehkan maupun yang tidak. Namun dari ayat ini pula dapat dipahami artinya secara zhâhir, bahwa kita wajib mengerjakan apa yang disuruh Rasul dan menghentikan apa yang dicegah Rasul untuk mengerjakannya.(13)
Nash itu dalam penunjukannya terhadap hukum adalah lebih kuat dibandingkan dengan zhâhir, karena penunjukan nash lebih terang dari segi maknanya. Nash itulah yang dituju menurut ungkapan “asal”, sedangkan zhâhir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya. Oleh karena itu, makna yang dituju secara langsung itu lebih mudah untuk dipahami dibandingkan dengan makna lainnya yang tidak langsung. Atas dasar itu, apabila terdapat pertentangan makna antara nash dengan zhâhir dalam penunjukannya, maka didahulukan yang nash.(14)   
  1.  Mufassar
Ada beberapa definisi tentang mufassar, di antaranya:
a.  Menurut Abdul Wahab Khalaf, mufassar adalah:
مَا دَلَّ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ عَلَى مَعْنَاهُ الْمُفَصَّلِ تَفْصِيْلًا بِحَيْثُ لَايَبْقَى مَعَهُ احْتِمَالٌ لِلتَّأْوِيْلِ
Suatu lafaz yang dengan sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang terinci, begitu terincinya shingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafaz tersebut.(15)
b.      Menurut Al-Uddah, mufassar adalah:
مَا يُعْرَفُ مَعْنَاهُ مِنْ لَفْظِهِ وَلَا يَفْتَقِرُ إِلَى قَرِيْنَةِ تَفْسِيْرِهِ
Sesuatu lafaz yang dapat diketahui maknanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarinah yang menafsirkannya.(16)
Dari beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa hakikat lafaz mufassar adalah penunjukannya terhadap maknanya jelas sekali, penunjukannya itu hanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarînah dari luar, serta tidak mungkin dita’wîl-kan.(17)
Mufassar terbagi dalam dua macam, yaitu:
a.       Menurut asalnya, lafaz itu memang sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu penjelasan lebih lanjut.(18) Contohnya QS. An-Nur (24) ayat 4:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.
Bilangan yang ditetapkan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu delapan puluh kali dera, tidak ada kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu.(19)
b.      Asalnya lafaz itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa pemahaman artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. Lafaz seperti itu, juga disebut dengan “mubayyan”.(20) Contohnya QS. An-Nisa (4) ayat 92:
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا
Orang-orang yang membunuh orang beriman secara tidak sengaja, hendaklah ia memerdekakan hamba sahaya dan menyerahkan diyat kepada keluarganya.
Ayat ini menyangkut keharusan menyerahkan diyat kepada keluarga korban, tetapi tidak dijelaskan mengenai jumlah, bentuk, dan macam diyat yang harus diserahkan itu. Sesudah turun ayat ini datang penjelasan dari Nabi dalam sunnah yang merinci keadaan dan cara membayar diyat itu sehingga ayat di atas menjadi terinci dan jelas artinya.(21)
Lafaz mufassar itu dari segi penunjukannya terhadap makna yang dimaksud lebih jelas dari lafaz nash dan lafaz zhâhir, karena lafaz-nya memang lebih jelas dibandingkan dengan nash dari segi tafsirannya yang terinci, sehingga menjadikan mufassar tidak mungkin untuk di-takwil dan apa yang dituju menjadi terang. Karena penjelasan mufassar itu lebih kuat dari nash dan zhâhir, bila terjadi perbenturan pemahaman antara keduanya, maka harus didahulukan yang mufassar.(22)
  1. Muhkam
Lafaz yang muhkam ialah:
مَادَلَّ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ عَلَى مَعْنَاهُ الْوَضْعِىِّ دَلَالَةً وَاضِحَةً بِحَيْثُ لَايَقْبَلُ الْإِبْطَالَ وَ التَّبْدِيْلَ وَ التَّأْوِيْلَ
Suatu lafaz yang dari sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya sesuai dengan pembentukan lafaznya secara penunjukan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan pembatalan, penggantian maupun ta’wil.(23)
Muhkam juga dapat berarti lafal yang menujukkan kepada maknanya secara jelas sehingga tertutup kemungkinan untuk di-ta’wil, dan menurut sifat ajaran yang dikandungnya tertutup pula kemungkinan pernah dibatalkan (nasakh) oleh Allah dan Rasul-Nya. Hukum yang ditunjukkannya tidak menerima pembatalan (nasakh), karena merupakan ajaran-ajaran pokok yang tidak berlaku padanya nasakh, misalnya kewajiban menyembah hanya kepada Allah, kewajiban beriman kepada rasul dan kitab-kitab-Nya, dan pokok-pokok keutamaan, seperti berbuat baik kepada kedua orang tua, dan kewajiban menegakkan keadilan. Ayat-ayat seperti ini menunjukkan kepada pengertiannya secara pasti (qath’i), tidak berlaku ta’wil padanya, dan tidak pula ada kemungkinan telah di-nasakh pada masa Rasulullah.(24)
Berikut ini adalah contoh dari lafaz muhkam, yaitu:
a.        Sabda Nabi Muhammad:
اَلْجِهَادُ جَاضٍ إِلَى يَوْمِ اْلقِيَّامَةِ
Jihad itu berlaku sampai hari kiamat.(25)
Penentuan batas hari kiamat untuk jihad itu menunjukkan tidak mungkin berlakunya pembatalan dari segi waktu. (26)
b.      QS. An-Nur (24) ayat 4:
وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا
Jangan kamu terima dari mereka kesaksian selama-lamnya.
Kata أَبَدًا (selama-lamanya) dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak diterima kesaksiannya itu berlaku untuk selamanya, dalam arti tidak dapat dicabut.
Lafaz muhkam terbagi atas dua macam, yaitu:
a.       Muhkam lizâtihi atau muhkam dengan sendirinya bila tidak ada kemungkinan untuk pembatalan atau nasakh itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri. Tidak mungkin nasakh muncul dari lafaz-nya dan diikuti pula oleh penjelasan bahwa hukum dalam lafaz itu tidak mungkin di-nasakh.(27)
b.      Muhkam lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila tidak didapatnya lafaz itu di-nasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi karena tidak ada nash me-nasakh-nya. Lafaz dalam bentuk ini dalam istilah ushul disebut lafaz yang qath’i penunjukannya terhadap hukum.(28)
Ketentuan tentang lafaz muhkam bila menyangkut hukum, adalah wajib hukum itu secara pasti dan tidak mungkin dipahami dari lafaz tersebut adanya alternatif lain, serta tidak mungkin pula di-naskh oleh dalil lain. Penunjukan lafaz muhkam atas hukum lebih kuat dibandingkan dengan tiga bentuk lafaz sebelumnya, sehingga bila berbenturan pemahaman antara lafaz muhkam dengan bentuk lafaz yang lain, maka harus didahulukan yang muhkam dalam pengamalannya.(29)
 
BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan yang objeknya adalah dalil hukum atau sumber hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode penggaliannya. Metode tersebut harus ditempuh oleh ahli hukum Islam dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Seluk beluk tersebut antara lain menertibkan dalil-dalil dan menilai kekuatan dalil-dalil tersebut
Zhâhir adalah lafaz yang menunjukkan maknanya dengan menggunakan sighatnya sendiri tanpa memerlukan qarînah dari luar, tetapi memiliki maksud lain dari maksud ungkapan tersebut yang merupakan pokok pembicaraannya serta ada kemungkinan untuk ditakwilkan. Nash adalah lafaz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara asli dan langsung sesuai dengan apa yang diungkapkannya, dan ada kemungkinan ditakwilkan. Mufassar adalah lafaz yang penunjukannya terhadap maknanya jelas sekali, dan penunjukannya itu hanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarînah dari luar, serta tidak mungkin ditakwilkan. Muhkam adalah lafaz yang menujukkan kepada makna yang jelas dan tidak memerlukan qarînah dari luar sehingga tertutup kemungkinan untuk ditakwilkan, diganti maupun dibatalkan (nasakh) oleh Allah dan Rasul-Nya.
B.     Saran
Dengan adanya pemaparan dari makalah ini, kita bisa tahu Ushul Fiqh yang meliputi  Zhâhir, Nash, Mufassar, Muhkam
DAFTAR PUSTAKA
-          Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Ed. 1, Cet. v, Jakarta: Kencana, 2009
-          Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, alih bahasa Halimuddin, Cet. v, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005
-          Satria Effendi, Ushul Fiqh, Ed. 1, Cet. ii, Jakarta: Kencana, 2008
-          Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 17-25
1.  Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 17-25
2. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Ed. 1, Cet. v, Jakarta: Kencana, 2009, h. 4.
3. Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, alih bahasa Halimuddin, Cet. v, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005, h. 200.
4. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 5.
5. Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, h. 201.
6. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 5.
7. Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, h. 201
8. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 5-6.
9. Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, h. 202.
10. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 6-7.
11. Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, h. 202.
12. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 7.
13. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 7.
14. Ibid., h. 7-8.
15. Ibid., h. 9.
16. Ibid.
17. Ibid.
18. Ibid.
19. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h.10.
20. Ibid.
21. Ibid.
22. Ibid., h. 10-1.
23. Ibid., h. 11.
24. Satria Effendi, Ushul Fiqh, Ed. 1, Cet. ii, Jakarta: Kencana, 2008, h. 225-6.
25. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 12.
26. Ibid.
27. Ibid.
28. Ibid.
29. Satria Effendi, Ushul Fiqh, Ed. 1, Cet. ii, Jakarta: Kencana, 2008, h. 12