MAKALAH
USHUL FIQH ZHÂHIR, NASH, MUFASSAR, MUHKAM
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Secara garis besar, dalam ilmu Ushul
Fikih lafaz dari segi kejelasan artinya terbagi kepada dua macam, yaitu lafaz
yang terang artinya dan lafaz yang tidak terang artinya. Dimaksud dengan lafaz
yang terang artinya ini adalah yang jelas penunjukannya terhadap makna yang
dimaksud tanpa memerlukan penjelasan dari luar. Jenis ini terbagi dalam 4
tingkatan, yaitu zhâhir, nash, mufassar, dan muhkam. Sedangkan yang dimaksud
lafaz yang tidak terang artinya adalah yang belum jelas penunjukannya terhadap
makna yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu. Jenis ini
pun terbagi dalam 4 tingkatan, yaitu khafi, musykil, mujmal, dan mutasyâbih
Dalam makalah ini, penulis akan
memaparkan tingkatan-tingkatan yang terkait dengan lafaz yang terang artinya
dan lafaz yang tidak terang artinya, yakni mengenai zhâhir, nash, mufassar,
muhkam
B.
RUMUSAN MASALAH
Pada uraian makalah ini, pembahasannya akan
penulis batasi dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian Ushul Fiqh ?
2. Apa definisi Zhâhir ?
3. Apa
definisi Nash ?
4. Apa
definisi Mufassar ?
5. Apa
definisi Muhkam ?
C. TUJUAN
-
Agar kita bisa mengetahui Pengertian
Ushul Fiqh.
-
Agar kita Mengetahui apa itu Zhahir,
Nash, Mufassar, dan Muhkam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ushul Fiqh
Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqih dapat dilihat dari
dua aspek: Ushul Fiqih kata majemuk (murakkab), dan Ushul Fiqih sebagai istilah
ilmiah. Dari aspek pertama, Ushul Fiqih berasal dari dua kata, yaitu kata ushul
bentuk jamak dari ashl dan kata fiqih, yang masing-masing memiliki pengertian
yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang
bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun
menurut istilah, ashl mempunyai beberapa arti berikut ini antara lain :
a.
Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqih bahwa
ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul.
b.
Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak
ada dalil yang mengubahnya.
Adapun fiqih, secara etimologi berarti pemahaman yang
mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian tersebut dapat
ditemukan dalam al-Quran, yakni dalam surat Thaha (20): 27-28, An-Nisa (4): 78,
Hud (11): 91. Dan terdapat pula dalam hadits, seperti sabda Rasulullah SAW :
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ..
Artinya
:
“Apabila
Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang. Dia akan memberikan pemahaman agama
(yang mendalam) kepadanya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad Ibnu Hanbal,
Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Adapun pengertian fiqih secara terminologi, pada mulanya
diartikan sebagai pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama,
baik berupa akidah (ushuliah) maupun amaliah (furu’ah). Ini berarti fiqih sama
dengan pengertian syari’ah Islamiyah. Pada perkembangan selanjutnya, fiqih merupakan
bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah
Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal
sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci.
Setelah dijelaskan pengertian ushul dan fiqh, baik menurut
bahasa maupun istilah maka di sini dikemukakan pengertian Ushul Fiqih yang
menjadi pokok bahasan pada bab ini. Para ahli hukum Islam, dalam memberikan
definisi Ushul Fiqih, beraneka ragam, ada yang menekankan pada fungsi Ushul
Fiqih itu sendiri, dan ada pula yang menekankan pada hakikatnya. Namun, pada
prinsipnya sama, yaitu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum syara’ secara
global dengan semua seluk beluknya.
Menurut Al-Baidhawi dari kalangan ulama Syafi’iyah (juz I:
16) bahwa yang dimaksud dengan Ushul Fiqh itu adalah :
مَعْرِفَةُ دَلاَئِلِ الْفِقْهِ اِجْمَالاً وَكَيْفِيَّةُ
الْإِسْتِفَادَةِ مِنْهَا وَحَالُ الْمُسْتَفِيْدِ.
Artinya
:
“Ilmu
pengetahuan tentang dalil fiqih secara global, metode penggunaan dalil tersebut,
dan keadaan (persyaratan) orang yang menggunakannya.”
Selain
itu, Ibnu Al-Subki (juz I: 25) mendefinisikan Ushul Fiqih sebagai :
لاَئِلُ الْفِقْهِ اِجْمَالاً.
Artinya
:
“Himpunan
dalil fiqih secara global.”
Jumhur
ulama Ushul Fiqih mendefinisikannya sebagai berikut :
لْقَوَاعِدُ الَّتِىْ يَتَوَصَّلُ بِهَا اسْتِنْبَاطِ
الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ مِنَ الْأَدِلَّةِ.
Artinya
:
“Himpunan
kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari
dalil-dalilnya.”
Pendapat
ini dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Al-Khudhary Beik, seorang guru besar
Universitas Al-Azhar Kairo. Adapun Kamaluddin Ibnu Humam dari kalangan ulama
Hanafiyah mendefinisikan Ushul Fiqih sebagai:
دْرَاكُ الْقَوَاعِدِ الَّتِىْ يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى
اسْتِنْبَاطِ الْفِقْهِ.
Artinya
:
“Pengetahuan
tentang kaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian fiqih.”
Sementara
itu, Abdul Wahab Khalaf, seorang guru besar hukum di Universitas Kairo Mesir
menyatakan :
لْعِلْمُ بِالْقَوَاعِدِ وَالْبُحُوْثِ الَّتِىْ يَتَوَصَّلُ
بِهَا اِلَى اسْتِفَادَةِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ
أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ. أَوْ مَجْمُوْعَةُ الْقَوَاعِدِ وَالْبُحُوْثِ
الَّتِىْ يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى اسْتِفَادَةِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
الْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ.
Artinya
:
“Ilmu
pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum-hukum syara’
mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci atau
kumpulan kaidah-kaidah dan metode penelitian hukum syara’ mengenai perbuatan
manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci.”
Dari pengertian Ushul Fiqih di atas, terdapat penekanan yang
berbeda. Menurut ulama Syafi’iyah, objek kajian para ulama ushul adalah
dalil-dalil yang bersifat ijmali (global); bagaimana cara mengistinbath hukum;
syarat orang yang menggali hukum atau syarat-syarat seorang mujtahid. Hal itu
berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh jumhur ulama. Mereka menekankan
pada operasional atau fungsi Ushul Fiqih itu sendiri, yaitu bagaimana menggunakan
kaidah-kaidah Ushul Fiqih dalam menggali hukum syara’.
Dengan demikian Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan yang
objeknya adalah dalil hukum atau sumber hukum dengan semua seluk beluknya, dan
metode penggaliannya. Metode tersebut harus ditempuh oleh ahli hukum Islam
dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Seluk beluk tersebut antara lain
menertibkan dalil-dalil dan menilai kekuatan dalil-dalil tersebut.(1)
- Zhâhir
Terdapat
beberapa rumusan yang berbeda di kalangan ulama ushul mengenai definisi zhâhir,
di antaranya:
a.
Menurut Al-Sarkhisi, zhâhir adalah
مَا يُفْهَمُ الْمُرَادُ مِنْهُ بِنَفْسِ السَّمَاعِ مِنْ
غَيْرِ تَأَمُّلٍ
Dari apa-apa yang didengar meskipun tanpa pemahaman yang
mendalam dapat diketahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh pembicara dengan
lafaz itu.(2)
b. Zhâhir,
yaitu apa yang menunjukan maksud daripadanya itu dengan sighat itu sendiri,
tanpa menghentikan faham maksudnya itu terhadap urusan luar. Dan apa yang
dimaksudnya itu ialah hal-hal yang menjadi pokok pembicaraan. Dia mengandung
takwil. Bila ada maksud memahami kata-kata tanpa memerlukan qarinah. Tidak ada
maksud asli dari pembicaraan. Kata-katanya itu di’itibarkan dengan jelas.(3)
Berikut
adalah beberapa contoh dari lafaz zhâhir:
a.
QS. Al-Baqarah (2) ayat 275:
الرِّبَا
وَحَرَّمَ الْبَيْعَ
اللَّهُ وَأَحَلَّ
Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.
Ayat ini
jelas sekali mengandung pengertian bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba
itu hukumnya haram, karena makna inilah yang mudah dan cepat ditangkap oleh
akal seseorang tanpa memerlukan qarînah yang menjelaskannya.(4)
Meskipun demikian, ungkapan ayat tersebut bukanlah sekedar untuk menyatakan hal
tersebut. Akan tetapi, untuk menafikan apa yang dibayangkan orang tentang jual
beli dan riba, dan menolak apa yang dikatakan orang bahwa jual beli itu adalah
seperti riba, bukan untuk menyatakan hukum kedua hal ini.(5)
b. QS.
Al-Hasyr (59) ayat 7:
فَانْتَهُوا عَنْهُ نَهَاكُمْ وَمَا فَخُذُوهُ الرَّسُولُ آتَاكُمُ وَمَا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
Ayat tersebut begitu jelas artinya,
yaitu keharusan menaati apa yang disuruh Rasul baik mengenai apa yang
disuruhnya dan apa yang dilarangnya, karena inilah yang mudah dipahami secara
cepat (mudah).(6) Namun, bukan ini maksud pokok pembicaraan. Yang
menjadi pokok ialah harta rampasan yang diberikan oleh Rasul, ketika dia
membagi-bagikannya, maka ambillah. Dan apa-apa yang dilarangnya maka
hentikanlah.(7)
Ketentuan yang menyangkut lafaz
zhâhir adalah bila berhubungan dengan hukum, maka wajib mengamalkan hukum
menurut lahirnya selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan lain dari lafaz
itu.(8)
Dia juga mengandung takwil, artinya penyimpangan dari zahirnya dan ada maksud
lain dari artinya itu.(9)
- Nash
Seperti halnya zhâhir,
terhadap nash pun para ulama ushul berbeda dalam merumuskan definisinya,
di antaranya:
a.
Menurut Ulama Hanafiyah, nash adalah:
هُوَ مَا دَلَّ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ
عَلَى الْمَعْنَى الْمَقْصُوْدِ أَصَالَةً عَلَى مَا سِيْقَ لَهُ وَ يَحْتَمِلُ
التَّأْوِيْلِ
Lafaz yang dengan sighatnya sendiri
menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan,
dan ada kemungkinan ditakwilkan.(10)
b. Nash,
yaitu apa yang ditunjukkan oleh sighatnya itu sendiri terhadap arti yang
dimaksud dari pokok pembicaraan. Dan mengandung takwil. Apabila maksud itu
cepat difahami dari lafadznya dan tidak terhalang memahaminya terhadap urusan
luar, adalah maksud pokok pembicaraan.(11)
Berikut
adalah beberapa contoh dari lafaz nash:
a.
QS. Al-Baqarah (2) ayat 275:
الرِّبَا
وَحَرَّمَ الْبَيْعَ
اللَّهُ وَأَحَلَّ
Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.
Secara nash, ayat tersebut
bertujuan untuk menyatakan perbedaan nyata antara jual beli dengan riba sebagai
sanggahan terhadap pendapat orang yang menganggapnya sama. Hal ini dapat
dipahami dari ungkapan keseluruhan ayat tersebut.(12) Meskipun
maksud ayat ini sudah sangat jelas, namun dari ayat ini dapat pula dipahami
maksud lain, yaitu halalnya hukum jual beli dan haramnya hukum riba. Pemahaman
ini disebut pemahaman secara zhâhir.
b.
QS. Al-Hasyr (59) ayat 7:
فَانْتَهُوا
عَنْهُ نَهَاكُمْ وَمَا فَخُذُوهُ الرَّسُولُ
آتَاكُمُ وَمَا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
Ayat ini secara nash
bertujuan untuk menyatakan keharusan mengikuti Rasul tentang pembagian harta
rampasan, baik yang dibolehkan maupun yang tidak. Namun dari ayat ini pula
dapat dipahami artinya secara zhâhir, bahwa kita wajib mengerjakan apa
yang disuruh Rasul dan menghentikan apa yang dicegah Rasul untuk
mengerjakannya.(13)
Nash itu dalam penunjukannya terhadap
hukum adalah lebih kuat dibandingkan dengan zhâhir, karena penunjukan nash
lebih terang dari segi maknanya. Nash itulah yang dituju menurut ungkapan
“asal”, sedangkan zhâhir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang
mengungkapkannya. Oleh karena itu, makna yang dituju secara langsung itu lebih
mudah untuk dipahami dibandingkan dengan makna lainnya yang tidak langsung.
Atas dasar itu, apabila terdapat pertentangan makna antara nash dengan zhâhir
dalam penunjukannya, maka didahulukan yang nash.(14)
- Mufassar
Ada beberapa definisi tentang mufassar,
di antaranya:
a. Menurut Abdul Wahab Khalaf, mufassar
adalah:
مَا دَلَّ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ عَلَى مَعْنَاهُ الْمُفَصَّلِ
تَفْصِيْلًا بِحَيْثُ لَايَبْقَى مَعَهُ احْتِمَالٌ لِلتَّأْوِيْلِ
Suatu lafaz yang dengan sighatnya sendiri memberi petunjuk
kepada maknanya yang terinci, begitu terincinya shingga tidak dapat dipahami
adanya makna lain dari lafaz tersebut.(15)
b. Menurut Al-Uddah, mufassar
adalah:
مَا يُعْرَفُ مَعْنَاهُ مِنْ لَفْظِهِ وَلَا يَفْتَقِرُ إِلَى
قَرِيْنَةِ تَفْسِيْرِهِ
Sesuatu lafaz yang dapat diketahui maknanya dari lafaznya
sendiri tanpa memerlukan qarinah yang menafsirkannya.(16)
Dari beberapa definisi di atas dapat
diketahui bahwa hakikat lafaz mufassar adalah penunjukannya terhadap
maknanya jelas sekali, penunjukannya itu hanya dari lafaznya sendiri tanpa
memerlukan qarînah dari luar, serta tidak mungkin dita’wîl-kan.(17)
Mufassar terbagi dalam dua macam, yaitu:
a. Menurut asalnya, lafaz
itu memang sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu penjelasan lebih
lanjut.(18) Contohnya QS. An-Nur (24) ayat 4:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ
ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
Dan orang-orang
yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera.
Bilangan yang ditetapkan dalam ayat
ini jelas dan terurai yaitu delapan puluh kali dera, tidak ada kemungkinan
untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu.(19)
b. Asalnya lafaz itu
belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa pemahaman
artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia
menjadi jelas. Lafaz seperti itu, juga disebut dengan “mubayyan”.(20)
Contohnya QS. An-Nisa (4) ayat 92:
وَمَنْ
قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ
إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا
Orang-orang yang membunuh orang beriman secara tidak
sengaja, hendaklah ia memerdekakan hamba sahaya dan menyerahkan diyat kepada
keluarganya.
Ayat ini menyangkut keharusan
menyerahkan diyat kepada keluarga korban, tetapi tidak dijelaskan
mengenai jumlah, bentuk, dan macam diyat yang harus diserahkan itu.
Sesudah turun ayat ini datang penjelasan dari Nabi dalam sunnah yang merinci
keadaan dan cara membayar diyat itu sehingga ayat di atas menjadi
terinci dan jelas artinya.(21)
Lafaz mufassar itu dari segi penunjukannya
terhadap makna yang dimaksud lebih jelas dari lafaz nash dan lafaz
zhâhir, karena lafaz-nya memang lebih jelas dibandingkan dengan nash
dari segi tafsirannya yang terinci, sehingga menjadikan mufassar tidak
mungkin untuk di-takwil dan apa yang dituju menjadi terang. Karena
penjelasan mufassar itu lebih kuat dari nash dan zhâhir, bila
terjadi perbenturan pemahaman antara keduanya, maka harus didahulukan yang mufassar.(22)
- Muhkam
Lafaz yang muhkam ialah:
مَادَلَّ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ عَلَى
مَعْنَاهُ الْوَضْعِىِّ دَلَالَةً وَاضِحَةً بِحَيْثُ لَايَقْبَلُ الْإِبْطَالَ وَ
التَّبْدِيْلَ وَ التَّأْوِيْلَ
Suatu lafaz yang dari sighatnya
sendiri memberi petunjuk kepada maknanya sesuai dengan pembentukan lafaznya
secara penunjukan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan pembatalan,
penggantian maupun ta’wil.(23)
Muhkam juga dapat berarti lafal yang
menujukkan kepada maknanya secara jelas sehingga tertutup kemungkinan untuk di-ta’wil,
dan menurut sifat ajaran yang dikandungnya tertutup pula kemungkinan pernah
dibatalkan (nasakh) oleh Allah dan Rasul-Nya. Hukum yang ditunjukkannya
tidak menerima pembatalan (nasakh), karena merupakan ajaran-ajaran pokok
yang tidak berlaku padanya nasakh, misalnya kewajiban menyembah hanya
kepada Allah, kewajiban beriman kepada rasul dan kitab-kitab-Nya, dan
pokok-pokok keutamaan, seperti berbuat baik kepada kedua orang tua, dan
kewajiban menegakkan keadilan. Ayat-ayat seperti ini menunjukkan kepada
pengertiannya secara pasti (qath’i), tidak berlaku ta’wil
padanya, dan tidak pula ada kemungkinan telah di-nasakh pada masa
Rasulullah.(24)
Berikut
ini adalah contoh dari lafaz muhkam, yaitu:
a.
Sabda Nabi Muhammad:
اَلْجِهَادُ جَاضٍ إِلَى يَوْمِ اْلقِيَّامَةِ
Jihad itu berlaku sampai hari
kiamat.(25)
Penentuan
batas hari kiamat untuk jihad itu menunjukkan tidak mungkin berlakunya
pembatalan dari segi waktu. (26)
b. QS.
An-Nur (24) ayat 4:
وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا
Jangan kamu terima dari mereka
kesaksian selama-lamnya.
Kata أَبَدًا (selama-lamanya) dalam ayat
tersebut menunjukkan bahwa tidak diterima kesaksiannya itu berlaku untuk
selamanya, dalam arti tidak dapat dicabut.
Lafaz
muhkam terbagi
atas dua macam, yaitu:
a.
Muhkam lizâtihi atau muhkam dengan sendirinya bila tidak ada
kemungkinan untuk pembatalan atau nasakh itu disebabkan oleh nash (teks)
itu sendiri. Tidak mungkin nasakh muncul dari lafaz-nya dan
diikuti pula oleh penjelasan bahwa hukum dalam lafaz itu tidak mungkin
di-nasakh.(27)
b. Muhkam
lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila tidak didapatnya lafaz
itu di-nasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri
tetapi karena tidak ada nash me-nasakh-nya. Lafaz dalam bentuk
ini dalam istilah ushul disebut lafaz yang qath’i penunjukannya terhadap
hukum.(28)
Ketentuan tentang lafaz muhkam
bila menyangkut hukum, adalah wajib hukum itu secara pasti dan tidak mungkin
dipahami dari lafaz tersebut adanya alternatif lain, serta tidak mungkin
pula di-naskh oleh dalil lain. Penunjukan lafaz muhkam atas hukum
lebih kuat dibandingkan dengan tiga bentuk lafaz sebelumnya, sehingga
bila berbenturan pemahaman antara lafaz muhkam dengan bentuk lafaz
yang lain, maka harus didahulukan yang muhkam dalam pengamalannya.(29)
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Ushul
Fiqih adalah ilmu pengetahuan yang objeknya adalah dalil hukum atau sumber
hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode penggaliannya. Metode tersebut
harus ditempuh oleh ahli hukum Islam dalam mengeluarkan hukum dari
dalil-dalilnya. Seluk beluk tersebut antara lain menertibkan dalil-dalil dan
menilai kekuatan dalil-dalil tersebut
Zhâhir adalah lafaz yang menunjukkan
maknanya dengan menggunakan sighatnya sendiri tanpa memerlukan qarînah dari
luar, tetapi memiliki maksud lain dari maksud ungkapan tersebut yang merupakan
pokok pembicaraannya serta ada kemungkinan untuk ditakwilkan. Nash adalah
lafaz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara asli
dan langsung sesuai dengan apa yang diungkapkannya, dan ada kemungkinan
ditakwilkan. Mufassar adalah lafaz yang penunjukannya terhadap maknanya
jelas sekali, dan penunjukannya itu hanya dari lafaznya sendiri tanpa
memerlukan qarînah dari luar, serta tidak mungkin ditakwilkan. Muhkam
adalah lafaz yang menujukkan kepada makna yang jelas dan tidak memerlukan
qarînah dari luar sehingga tertutup kemungkinan untuk ditakwilkan, diganti
maupun dibatalkan (nasakh) oleh Allah dan Rasul-Nya.
B.
Saran
Dengan adanya pemaparan dari
makalah ini, kita bisa tahu Ushul Fiqh yang meliputi Zhâhir, Nash, Mufassar, Muhkam
DAFTAR PUSTAKA
- Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh
Jilid 2, Ed. 1, Cet. v, Jakarta: Kencana, 2009
- Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fikih, alih bahasa Halimuddin, Cet. v, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005
- Satria Effendi, Ushul Fiqh, Ed.
1, Cet. ii, Jakarta: Kencana, 2008
- Rahmat Syafe’i,
Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 17-25
1. Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2000),
hlm. 17-25
2.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Ed. 1, Cet. v, Jakarta: Kencana,
2009, h. 4.
3.
Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, alih bahasa Halimuddin,
Cet. v, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005, h. 200.
4.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 5.
5.
Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, h. 201.
6.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 5.
7. Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fikih, h. 201
8.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 5-6.
9.
Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, h. 202.
10.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 6-7.
11. Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fikih, h. 202.
12.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 7.
13.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 7.
14.
Ibid., h. 7-8.
15.
Ibid., h. 9.
16. Ibid.
17.
Ibid.
18.
Ibid.
19.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h.10.
20.
Ibid.
21.
Ibid.
22.
Ibid., h. 10-1.
23.
Ibid., h. 11.
24.
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Ed. 1, Cet. ii, Jakarta: Kencana, 2008, h.
225-6.
25.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 12.
26.
Ibid.
27.
Ibid.
28.
Ibid.
29.
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Ed. 1, Cet. ii, Jakarta: Kencana, 2008, h. 12
1 comment:
ijin copy
Post a Comment