Sunday, 28 April 2013

Al-Kindi



"AL - KINDI"

BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang Masalah
     Arti penting tokoh untuk dibahas sebagai materi makalah. Eksistensi tuhan dianggap sebagai syarat penting untuk mempercayai dan meyakini akan keesaan tuhan, seperti para filosof-filosof islam yang mencoba memberikan diskripsi ataupun pandangan terhadap eksistensi tuhan.
      Eksistensi yang sebenarnya yang ada, tidak akan tidak ada untuk selamanya, bahkan ia selalu ada. Ia adalah pencipta yang maha kuasa, dan maha bijaksana. Para filosof islam mencoba mengkaitkan dengan keesaan akal dan keesaan tuhan. Seperti yang di angkat oleh Al-Kindi. Yang nantinya menjadi awal tersendiri bagi kemajemukan dan pemahaman para penganut agama di Indonesia khususnya islam di Indonesia. Hasil-hasil pemikiran tentang kemajuan tuhan yang di komparasikan dengan realita-realita yang ada, ”Esa adalah akal yang mengetahui dirinya”. Penting sekali kami menganut dua tokoh pemikir islam yang nantinya berguna untuk kita renungi bersama tentang pemikiran Al-Kindi untuk Indonesia sebagai benteng untuk memperkokoh keimanan akan eksistensi tuhan yang sebenarnya.
1.2 Rumusan Masalah
- Bagaimana Tentang Biografi Al-Kindi ?.
- Bagaimana Karir Intelektual Al-Kindi ?.
- Apa Saja Karya – Karya Al-Kindi ?.
- Apa Saja Buah Pemikiran Al-Kindi ?
1.3 Tujuan Penulisan
            - Mengetahui Biogrami Al-kindi
            - Mengetahui Karir Al-Kindi
            - Mengetahui Karya –karya Al-Kindi
            - Mengetahui Hasil Pemikiran Al-Kindi
1.4 Manfaat Penulisan
- Lebih menambah wawasan bagi penulis dan pembaca
- Mengetahui filosuf muslim keturunan Arab pertama
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pembahasan
A. Biografi Al-Kindi
Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf a’cub ibnu Ishaq ibnu Al-Shabbah ibnu ‘Imran ibnu Muhammad ibnu Al-Asy’as ibnu Qais Al-Kindi. Kindah, pada siapa nama Al-Kindi dinisbahkan, adalah suatu kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan cabang dari Bani kabilah yang menetap di Yaman. Kabilah ini pulalah yang melahirkan seorang tokok satrawan yang terbesar kesusastraan Arab, sang penyairan – pangeran Imr Al-Qais, yang gagal untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M) dari keluarga kaya dan terhormat. Kakek buyutnya, Al-Asy’as ibnu Qais, adalah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, yang gugur sebagai Syuhada’ bersama Sa’ad ibnu Abi Waqqas dalam peperangan antara kaum Muslimin dengan Persia di Irak. Sementara itu ayahnya Ishaq ibnu A-Shabbah, adalah Gubenur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi (775-785 M) dan Al-Rasyid (786 – 809 M). Ayahnya meninggal ketika ia masih usia kanak – kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu dengan baik Al-Kindi sendiri mengalami masa pemerintahan lima khalifah Bani Abbah, Yakni Al-Amin (809-813 M), Al-Ma’mun(813-833 M), Al-Mu’tasim (833 – 842 M), Al-Wasiq (842-847 M) dan Al-Mutawakkil (847 – 861 M).
Tentang kapan Al-Kindi meninggal tidak ada suatu keterangan pun yang pasti. Agaknya menentukan tahun wafatnya sama sulitnya dengan menentukan tahun kelahirannya dan siapa-siapa saja guru yang mendidiknya. Mustafa Abd Al-Raziq cenderung mengatakan tahun wafatnya adalah 252 H, sedangkan Massignon menunjuk tahun 260 H, suatu pendapat yang juga diyakini oleh Hendry Corbin dan Nellino. Sementara itu, Yaqut Al-Himawi mengatakan bahwa Al-Kindi wafat sesudah berusia 80 tahun atau lebih sedikit.
Betapa pun juga Al-Kindi sudah dinobatkan sebagai filosof Muslim berkebangsaan Arab yang pertama, ia layak disejajarkan dengan filosof-filosof Muslim non-Arab. Sumbangan Al-Kindi yang sangat berharga dalam dunia filsafat Islam ialah usahanya untuk membuka jalan dan menjawab rasa enggan dari umat Islam lainnya untuk menerima ilmu filsafat ini, yang terasa asing di masa itu. (1)
B. Karir Intelektual Al-Kindi
Sedikit sekali informasi yang diperoleh tentang pendidikannya. Ia pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi Islam. Kemudian selagi masih muda, ia menetap di Baghdad, ibu kota kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Ia sangat tekun mempelajari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, tidaklah heran ia dapat menguasai ilmu astronomi, ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik, meteorologi, optika, kedokteran, matematika, filsafat(2), dan politik. Penguasaannya terhadap filsafat dan disiplin ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi-orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran para filosof terkemuka. Karena itu pulalah ia dinilai pantas menyandang gelar Failasuf al-Arab (Filosof berkebangsaan Arab). 
Memandang kejeniusan tokoh ini, agaknya tuduhan yang mengatakan bahwa Al-Kindi tidak mengerti secara baik ilmu logika sulit dibuktikan Pasalnya, tidak satu pun karya logikanya yang ditemukan lagi.
Karena lingkup pengetahuan ilmiahnya yang luar biasa, atau mungkin juga karena alasan lain, misalnya kesesuaian pahamnya dengan ide-ide Mu'taziIah, Al-Ma’mun Ialu mengajaknya bergabung dengan kalangan cendekiawan yang bergiat dalam usaha pengumpulan dan penerjemahan karya-karya Yunani. Agaknya AI-Kindi termasuk orang yang beruntung, ketika di Baghdad ia dengan cendekiawan Persia dan Suria, yang diduga dari merekalah ia mendapat bimbingan sehingga ia menjadi seorang di antara sedikit orang Islam-Arab yang menguasai  bahasa Yunani dan Siryani, atau kedua-duanya sekaligus. Oleh karena itu, pernyataan Al-Ahwaniy dapat diterima ketika ia mengatakan bahwa Al-Kindi termasuk salah seorang dari empat besar penerjemah bersama Hunain ibnu Ishaq, Sabit ibnu Qurra, dan Umar ibnu AI-Farkhan AI- Thabari.
AI-Ma’mun menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab negara dan AI-Kindi juga menulis beberapa risalah tentang keadilan, kemahaesaan Tuhan dan perbuatan-Nya, bahkan Iebih jauh dari itu, ia ikut pula. membantah paham·paham yang bertentangan dengan mazhab
negara ini berdasarkan pemikirannya. Sungguhpun demikian, kita tidak bisa menetapkan secara pasti bahwa Al·Kindi adalah seorang Mu'tazili. Hal ini disebabkan persoalan-persoalan tentang keadilan dan kemahakuasaan Tuhan bukan hak mutIak atau monopoIi Mu’taziIah saja. Selain itu, seseorang baru bisa disebut Mu'taziIi apabila ia menerima dan meyakini lima ajaran pokoknya (al-UshuI aI·Khamsat).
Al-Kindi mendapat kedudukan yang tinggi dari Al-Ma‘mun Al- Mu’tasim dan anaknya, yaitu Ahmad, bahkan menjadi gurunya. Karena ia berkecimpung dalam lapangan filsafat, maka ia mendapat tantangan yang sengit dari seorang ahli hadis, yaitu Abu Ja’far bin Muhammad Al-Balakhi.
Al-Kindi mengalami kemajuan pikiran Islam dari penerjemahan buku- buku asing ke dalam bahasa Arab, bahkan ia termasuk pelopornya. Bermacam·macam ilmu telah dikajinya, terutama filsafat, daiam suasana yang penuh pertentangan agama dan mazhab, dan yang dibanjiri oleh paham golongan Mu‘tazilah serta ajaran-ajaran Syi’ah (3).
Akan tetapi, dengan kedudukannya ini bukan berarti ia lepas dari pengalaman pahit yang menimpa para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu. Pada masa pemerintah Al-Mutawakkil, Daulat Bani Abbas kembali menjadikan ahlussunah wal-]ama’ah sebagai mazhab negara, ganti dari mazhab Mu'tazilah. Suasana ini dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang berpegang secara ketat pada doktrin ini dan tidak menyukai filsafat untuk memojokkan Al-Kindi. Atas hasutan Muhammad dan Ahmad, dua orang putra ibnu Syakir di antara yang mereka katakan, orang yang mempelajari filsafat menjadi kurang hormat pada agama, Al-Mutawakkil memerintahkan agar Al-Kindi didwra dan perpustakaannya yang bemama Al-Kindiyah disita. Akan tetapi, tidak lama kemudian perpustakaannya dikembalikan lagi kepada pemiliknya.
Ada dua kisah menarik yang dihubungan dengan Al-Kindi. Pertama, kisah tentang kekikirannya sama terkenalnya dengan kegeniusannya. Kedua, kisah kepiawaiannya tentang musik. Menurutnya, rasa seni bukan hanya dimiliki oleh manusia, tetapi juga hewan. Bila seruling ditiup dengan baik, maka hewan, seperti ular dan buaya akan keluar dari tempat persembunyiannya dan ikut mengikuti irama seni tersebut. Begitu pula para penggembala dengan suara terompetnya yang khas akan dapat memanggil dan mengumpulkan hewan gembalanya, seperti sapi, kambing, domba, dan lainnya. Dengan seni musik ini ia telah berhasil mengobati anak tetangga pedagang kaya yang ditimpa penyakit   saraf dan tiba-tiba lumpuh, padahal tidak seorang dokter pun di Baghdad yang mampu menyembuhkannya. Ia pernah pula menulis dan  membentangkan undang-undang “Musical sound" dan seni musik yang berpengaruh sampai ke Eropa(4). 
C. Karya – Karya Al-Kindi
Sebagai seorang filosof islam yang produktif, diperkirakan karya yang pernah ditulis Al-Kindi dalam berbagai bidang tidak kurang dari 270 buah. Dalam bidang filsafat, Filsafatnya yang pertama untuk Khalifah Al-Mu’tasim. Pada permulaan buku itu al-kindi memberikan definisi Filsafat sebagai berikut:
“Filsafat teorinya tentang pengetahuan adalah untuk mendapatkan kebenaran.
Kebenaran pertamanya menurut al-kindi dalam filsafatnya ialah “Al-Haq” atau dalam bahsa latin  Verum , Verum itu ialah Tuhan, Meskipun tidak diucapkannya yang dimaksud Tuhan oleh Al-Kindi adalah: Yang Esa, Pencipta Semua yang ada, dan penolong bagi segala yang diciptakannya(2). Selain Al-Mu’tashim karya Al-kindi diantaranya adalah:
1.. kitab al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyah wa al Muqtashah wa ma fawqa al-Thabi’iyyah (tentang filsafat yang diperkenalkan dan masalah-masalah logika dan muskil, serta metafisika),
2. kitab fi Annahu la Tanalu al-Falsafah illa bi ‘ilm al-Riyadhiyyah (tentang filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika),
3. kitab fi Qashd Aristhathalis fi al-Maqulat (tentang maksud-maksud Aristoteles dalam kategori-kategorinya),
4. kitab fi Ma’iyyah al-‘ilm wa Aqsamihi (tentang sifat ilmu pengetahuan dan klasifikasinya),
5. Risalah fi Hudud al-Asyya’ wa Rusumiha (tentang definisi benda-benda dan uraiannya),
6. Risalah fi Annahu Jawahir la Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa badan),
7. kitab fi Ibarah al-Jawami’ al Fikriyah (tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komprehensif),
8. Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah (sebuah tilisan filosofis tentang rahasia-rahasia spiritual),
9. dan Risalah fi al-Ibanah an al-‘illat al-Fa’ilat al-Qaribah li al-kawn wa al-Fasad (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan kerusakan)
Di samping menerbitkan buku tentang pemikirannya sendiri, al-Kindi juga menerjemahkan literatu-literatur Yunani, seperti Metaphysica, Poetica and Hermeneutica karya Aristoteles, Geography karya Ptolemy, clan Isagoge buah tangan Prophyry. Al-Kindi juga memberi komentar buku-buku Aristoteles, seperti Analytica Posteriora, Saphistica Elenchi, dan the Categories.
Oleh Ibnu Nadim maupun Qifthi, Karya –karya Al-Kindi di kelompokkan dal 17 kelompok yaitu:
  1. Filsafat
  2. Logika
  3. Ilmu Hitung
  4. Globular
  5. Musik
  6. Astronomi
  7. Geometri
  8. Sperikal Medis
  9. Astrologi
  10. Medis
  11. Dialektika
  12. Psikologi
  13. Politik
  14. Meteorologi
  15. Dimensi
  16. Benda-benda Pertama
  17. Spesies Tertentu Logam dan Kimia
Gambaran ini menunjukkan betapa luas pengetahuan al-Kindi. Beberapa karya ilmiahnya telah diterjemahkan oleh Gerard dari Cremona ke dalam bahasa latin, dan karya-karya itu sangat mempengaruhi pemikiran Eropapada abad pertengahan. Cardano menganaggap al-Kindi sebagai salah satu dari dua belas pemikir terbesar.
Para sarjana, khususnya orientalis, mempelajari karya- karya al-Kindi berdasarkan terjemaham Latinnya. Baru-baru ini peta pemikiran al-Kindi mulai menemui titik terang berkat penemuan 25 karyanya yang sempat hilang. Salah satunya berjudul Rasail al-Kindi al-Falsafiyah dan telah diedit serta diterbitkan di Kairo dalam dua jilid (jilid pertama tahun 1950, dan jilid berikutnya tahun 1953).(5) Beberapa risalah pendeknya yang lain ditemukan di Aleppo, meski hingga kini belum disunting. Dengan demikian, hingga batas tertentu, memungkinkan analisis terhadap filsafat al-Kindi,dengan berpijak pada landasan-landasan yang lebih-kurang kukuh.
D. Pemikiran Al-Kindi
    Ketuhanan
Bagi al-Kindi , filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mulia. Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz’iyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah (keseluruhan). Dalam pandangan filsafat al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal), sebab awal dan Yang Benar Tunggal. al-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.
Tuhan adalah wujud yang hak (benar) yang bukan asalnya tidak ada kemudian menjadi ada. Ia selalu mustahil tidak ada. Ia selalu ada dan akan selalu ada. Oleh karena Tuhan adalah wujud yang sempurna yang tidak didahului oleh wujud yang lain, tidak berakhir wujud-Nya dan tidak akan ada wujud kecuali dengan-Nya.
Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan kepada wahyu juga pada proporsi filosofis. Menurut al-Kindi Tuhan tidak merupakan genus atau spesies, Tuhan adalah pencipta, Tuhan adalah yang benar pertama dan yang benar tunggal.
Mengenai sifat-sifat esensial Sang Maha Esa, al-Kindi menggarisbawahi mutlaknya keesaan Allah sebagai penyebab bagi semua yang ada (mawjud). Meskipun tampak beragam, semua mawjud pada dasarnya bermula dari kesatuan Sang Maha Esa. Katanya, “Tanpa kesatuan semacam itu, tidak akan ada satu apapun. Akibat kesatuan inilah segala sesuatu menjadi ada. Dan sekiranya Dia berhenti memelihara dan mengatur alam semesta, segala yang ada bakal hancur berantakan.” Namun al-Kindi meyakini creatio ex nihilo. Alam tidak abadi (qadim) tapi huduts yang artinya tercipta dalam waktu dan karena itu, berarti bermula. Sebelum dia ada, dia pernah tiada.
Untuk membuktikan wujud Tuhan ia menggunakan tiga jalan, yaitu: 1. Baharunya alam. 2. Keanekaragaman dalam wujud. 3. Kerapian alam.
Untuk yang pertama, al-Kindi menanyakan apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujudnya sendiri, ataukah tidak mungkin. Dijawabnya, bahwa itu tidaklah mungkin. Jelasnya ialah bahwa alam ini adalah baru, dan ada permulaan waktunya, karena alam ini terbatas.
Dari segi gerak, karena gerak pada wataknya mengikuti wujud jisim, karena tidak mungkin adanya gerak jika tidak ada jisim yang bergerak. Dengan demikian, gerak juga baharu karena ada titik awalnya. Sedangkan dari segi zaman karena zaman adalah ukuran gerak dan juga baharu seperti gerak. Jadi, jisim, gerak dan zaman tidak dapat saling mendahului dalam wujud, dan semuanya tidak ada secara bersama-sama, ini berarti alam ini baharu karena itu ada penciptanya Katanya:


Tidak ada suatu jisim yang abadi . jadi jisim, dengan sendirinya diciptakan, dan yang diciptakan itu adalah ciptaan pencipta. Sebab pencipta dan yang dicipta termasuk perangkaian. Maka semua itu dengan sendirinya ada penciptanya dari tiada.
Untuk jalan kedua, al-Kindi mengatakan keanekaragaman dalam alam ini bukanlah karena kebetulan, melainkan karena sesuatu sebab. Akan tetapi “sebab “itu bukanlah alam itu sendiri, sebab apabila alam itu menjadi sebab bagi dirinya sendiri maka alam tidak akan ada habis-habisnya. Sedang sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Untuk jalan ketiga, yaitu jalan kerapian alam dan pemeliharaan Tuhan terhadapnya, maka al-Kindi mengatakan bahwa alam tidak mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya Zat yang tak tampak. Zat yang tidak tampak tersebut hanya dapat diketahui dengan melalui bekas-bekas-Nya dan kerapian yang terdapat pada alam ini. Jalan ini disebut dengan illat ghayah (illat tujuan).
Mengenai sifat Tuhan menurut al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dengan Zat-Nya.
Kesimpulannya adalah bahwa Tuhan adalah sebab pertama, dimana wujud-Nya bukan karena sebab yang lain. Ia adalah zat yang menciptakan bukan diciptakan; menciptakan sesuatu dari tiada. Ia adalah zat yang menyempurnakan tetapi bukan disempurnakan.
     Filsafat Jiwa
Jiwa menurut al-Kindi, merupakan suatu entitas Ilahi yang tidak tersusun dan kekal, dan memancar dari Allah. Ia bukan materi atau terbuat dari materi, dan walupun bersatu untuk sementara waktu dengan tubuh, jiwa terpisah dan tidak tergantung kepadanya. Tubuh merupakan rintangan bagi jiwa, dan oleh sebab itu, apabila sudah terpisah dari tubuh , jiwa dapat memperoleh pengetahuan dari segala hal dan mengetahui hal-hal yang gaib. Setelah fisik hancur, jiwa kembali kedunia akal, dunia Allah dan bersatu dengannya.
Dalam risalahnya, On Sleep and Dreams (Tentang Tidur dan Mimpi), al-Kindi menulis bahwa apabila jiwa tidak tercemar oleh kotoran-kotoran kehidupan, ia akan dapat melihat mimpi-mimpi yang indah dan berhubungan dengan jiwa orang-orang yang sudah meninggal. Dalam mimpi orang kehilangan kontak dengan panca indranya dan hanya menggunakan akal.
Untuk mengetahui pengetahuan al-Kindi, mari kita lihat pandangannya terhadap jiwa atau ruh. Menurut al-Kindi , substansi ruh adalah sederhana (tidah tersusun dan kekal. Ia memiliki arti penting dalam kehidupan manusia. Ia sempurna dan mulia karena substansinya berasal dari substansi Tuhan. Hubungannya dengan tuhan sama dengan hubungan cahaya dan matahari.
Menurut al-Kindi bahwa ruh mempunyai esensi dan eksistensi yang terpisah dengan tubuh dan tidak tergantung satu sama lainnya. Jiwa menurut al-Kindi adalah prinsip kehidupan yang mempengaruhi tubuh organik untuk beberapa saat lamanya untuk kemudian melepaskannya. Jiwa merupakan entitas tunggal yang substansinya sama dengan substansi pencipta sendiri karena ia sesungguhnya adalah limpahan dari substansi Tuhan. Sebagaimana sinar matahari dengan matahari. Sekalipun begabung dengan tubuh sesungguhnya ia terpisah dan independen dari tubuh. Tubuh adalah rintangan bagi jiwa sehingga ketika jiwa meninggalkan tempat sementaranya, ia akan menyatu dengan dunia intelek dan menyatu dengannya.
Adapun hakikat jiwa, al-Kindi menegaskan bahwa jiwa itu jauhar tunggal (jauhar basi) berciri Ilahi lagi rohani, tidak panjang tidak lebar. Akan tetapi, apakah dengan demikian jiwa itu berasal dari alam Ilahi atau alam idea seperti yang dikatakan oleh Plato, tampaknya al-Kindi tidak menjelaskannya. Ia hanya mengatakan :


Dan bahwa kita datang di alam ini bagaikan titian atau jembatan yang dilalui oleh penyeberang, tidak mempunyai tempat yang lama. Tempat tetap yang kita harapkan adalah alam tinggi yang luhur kemana jiwa kita dapat berpindah setelah mati.
Manusia harus bisa melepaskan diri dari sifat kebinatangan yang ada dalam tubuhnya dengan cara berkontemplasi tentang wujud dan bersifat zuhud. Hanya jiwa yang suci yang dapat menangkap hakikat-hakikat, ibarat cermin yang bersih dapat menangkap gambar yang ada di depannya dengan jelas. Hanya jiwa yang bersih yang dapat menuju ke alam kebenaran. Roh yang masih kotor terlebih dahulu dibersihkan dulu di bulan , selanjutnya ke mercurius , dan seterusnya hingga sampai ke alam akal yang berada di lingkungan cahaya Tuhan. Jiwa yang sudah memasuki wilayah tersebut dapat melihat Tuhan.
al-Kindi membagi jiwa menjadi tiga: daya bernafsu, daya pemarah dan daya berfikir. Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa itu dengan mengibaratkan daya berfikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi. Sementara bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
Sekalipun ketiga daya tersebut merupakan daya-daya yang dimiliki jiwa, namun al-Kindi seringkali hanya merujuk daya berfikir sebagai daya yang berkaitan dengan kemampuan jiwa, sedangkan daya pemarah dan nafsu dikaitkan dengan tubuh. hal itu karena dalam pandangan al-Kindi daya pemarah dan nafsu ada semata-mata untuk pertumbuhan dan pelestariah jiwa hewani yang berkaitan dengan badan.

E. Manfaat Bagi Saya
            Dengan mempelajari materi di atas saya bisa mengetahui banyak hal mengenai tokoh Al-kindi serta karya-karnya sekaligus seluk-beluk kehidupan beliau. Manfaat lain saya juga bisa mengambil sedikit banyak ilmu dari konsep-konsep yang beliau buat, selain itu juga wawasan saya makin bertambah mengenai filsafat yang di tuturkan beliau .
            Di samping itu untuk mengasah daya kritis dan analitis. Sehingga mampu keluar dari fanatik buta. Misalnya ada yang ngomong politik itu kotor. Dengan belajar filsafat, kita tidak akan terima begitu saja. Kita akan teliti secara jernih dan mendalam. Tentu saja ditopang disiplin ilmu terkait seutuhnya.
Bagi saya yang merupakan seorang Muslim, belajar filsafat itu punya dua fungsi: Pertama, membenarkan yang benar (ihqaq al-haqq). Kedua, membatalkan yang batil (ibthal al-bathil). Dan kebenaran yang dimaksud itu terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf a’cub ibnu Ishaq ibnu Al-Shabbah ibnu ‘Imran ibnu Muhammad ibnu Al-Asy’as ibnu Qais Al-Kindi, dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M), Tentang kapan Al-Kindi meninggal tidak ada suatu keterangan pun yang pasti. Agaknya menentukan tahun wafatnya sama sulitnya dengan menentukan tahun kelahirannya dan siapa-siapa saja guru yang mendidiknya. Mustafa Abd Al-Raziq cenderung mengatakan tahun wafatnya adalah 252 H, sedangkan Massignon menunjuk tahun 260 H, suatu pendapat yang juga diyakini oleh Hendry Corbin dan Nellino. Sementara itu, Yaqut Al-Himawi mengatakan bahwa Al-Kindi wafat sesudah berusia 80 tahun atau lebih sedikit
Al-Kindi mendapat kedudukan yang tinggi dari Al-Ma‘mun Al- Mu’tasim dan anaknya, yaitu Ahmad, bahkan menjadi gurunya. Karena ia berkecimpung dalam lapangan filsafat, maka ia mendapat tantangan yang sengit dari seorang ahli hadis, yaitu Abu Ja’far bin Muhammad Al-Balakhi
karya Al-kindi diantaranya adalah:
1.. kitab al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyah wa al Muqtashah wa ma fawqa al-Thabi’iyyah (tentang filsafat yang diperkenalkan dan masalah-masalah logika dan muskil, serta metafisika),
2. kitab fi Annahu la Tanalu al-Falsafah illa bi ‘ilm al-Riyadhiyyah (tentang filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika),
3. kitab fi Qashd Aristhathalis fi al-Maqulat (tentang maksud-maksud Aristoteles dalam kategori-kategorinya),
4. kitab fi Ma’iyyah al-‘ilm wa Aqsamihi (tentang sifat ilmu pengetahuan dan klasifikasinya),
5. Risalah fi Hudud al-Asyya’ wa Rusumiha (tentang definisi benda-benda dan uraiannya),
6. Risalah fi Annahu Jawahir la Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa badan),
7. kitab fi Ibarah al-Jawami’ al Fikriyah (tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komprehensif),
8. Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah (sebuah tilisan filosofis tentang rahasia-rahasia spiritual),
9. dan Risalah fi al-Ibanah an al-‘illat al-Fa’ilat al-Qaribah li al-kawn wa al-Fasad (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan kerusakan)

3.2 Saran
            Dari penulisan makalah di atas, mungkin masi banyak kerancauan dan kesalahanya, baik kesalahan dalam penulisan, kebakuan kata dan lain sebagainay. Maka kami selaku penulis memohon saran dari para pembaca semuanya karena saran dan masukan adalah merupakan tongkat utama dalam belajar dan dengan masukan dan saran maka kami bisa belajar lebih baik lagi.











DAFTAR PUSTAKA
-          Alwasilah,Chaidar,2008,Filsafat Bahasa dan Pendidikan,Bandung:PT.REMAJA ROSDAKARYA.
-          Drajat, Amroeni,2006,Filsafat Islam:Buat yang Pengen Tahu,Medan:PT.Gelora Aksara Pratama.
-          Porwantana,DKK,1988,Seluk – Beluk Filsafat Islam,Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
-          Surgamakalah,2011, http://www.surgamakalah.com/2011/09/ketuhanan-dan-filsafat-jiwa-al-kindi.html,23 April 2012
-          Tamburaka,Rustam,1999, Pengantar Ilmu Sejarah,Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat, dan Iptek, Jakarta : PT.RINEKA CIPTA.
-          Zar,Sirajuddin, 2010, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta : PTRAJAGRAFINDO PERSADA.





1Sirajuddin Zar, 2010, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta : PT.Rajagrafindo Persada.Hal.37
2Kata filosofi berasal dari perkataan Yunani: philos (suka, cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Jadi, kata itu berarti cinta terhadap kebijaksanaan (wisdom). Sikap bijaksana dalam pangambilan keputusan dalam upaya melakoni kehidupan, dari dahulu hingga sekarang tetap diperlukan (Alwasilah,Chaidar,2008,Filsafat Bahasa dan Pendidikan,Bandung:PT. Remaja Rosdakarya.Hal.7
 3Porwantana,DKK,1988,Seluk – Beluk Filsafat Islam,Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Hal.128
4Sirajuddin Zar, 2010, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta : PT.Rajagrafindo Persada. Hal.39

5Rustam Tamburaka, ,1999, Pengantar Ilmu Sejarah,Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat, dan Iptek, Jakarta : PT. Rineka Cipta.Hal.196
6Amroeni Drajat,2006,Filsafat Islam:Buat yang Pengen Tahu,Medan:PT.Gelora Aksara Pratama. Hal.11

7. Surgamakalah,2011, http://www.surgamakalah.com/2011/09/ketuhanan-dan-filsafat-jiwa-al-kindi.html,23 April 2012